Fatwa Kontroversial Ustadz Erwandi Tarmizi, Haji Tidak Lagi Wajib Bagi WNI Karena Alasan Ini

 

Fatwa Kontroversial Ustadz Erwandi Tarmizi, Haji Tidak Lagi Wajib Bagi WNI Karena Alasan Ini

Arrahimedia.or.id -  Haji yang selama ini menjadi rukun Islam kelima kini diperdebatkan kembali melalui sebuah fatwa kontroversial dari Ustadz Dr. Erwandi Tarmizi.


Pakar fikih muamalah dan ekonomi syariah ini menyatakan bahwa kewajiban haji bagi umat Islam Indonesia saat ini gugur karena berbagai faktor syar’i dan kondisi nyata di lapangan.


Fatwa tersebut langsung mengundang perhatian luas karena menyentuh persoalan fundamental ibadah umat Islam yang selama ini diyakini sebagai kewajiban hidup sekali seumur hidup.


Ustadz Erwandi menegaskan bahwa dasar fatwanya merujuk pada ayat Al-Qur’an dalam surah Ali Imran ayat 97, di mana syarat utama haji adalah kemampuan.


Dalam konteks Indonesia, antrean panjang yang bisa mencapai 30 hingga 50 tahun dianggap menghilangkan syarat kemampuan itu.


Seorang muslim tidak lagi dapat dikategorikan mampu jika secara usia belum tentu bisa mencapai giliran keberangkatan.


Ia juga menegaskan bahwa persoalan ini tidak hanya dilihat dari perspektif individu, melainkan juga realita sistem penyelenggaraan haji di Indonesia yang penuh masalah.


Menurutnya, ulama internasional pun sudah membahas persoalan antrean panjang ini, dan sebagian besar menyimpulkan bahwa kewajiban haji gugur bagi mereka yang menghadapi masa tunggu puluhan tahun.


Pendapat tersebut diperkuat dengan diskusi bersama kolega beliau di Arab Saudi, termasuk konsultan di Bank Syariah Al Rajhi, yang menyatakan kesepahaman ulama di sana.


Di sisi lain, Ustadz Erwandi memberikan kritik tajam terhadap sistem dana talangan haji yang berkembang di Indonesia.


Dana talangan yang memungkinkan masyarakat “membooking” porsi haji melalui pinjaman bank disebutnya mengandung unsur riba dan gharar.


Hal ini menurutnya bukan hanya memperparah antrean, tetapi juga menjadikan ibadah haji dimulai dengan cara yang dilarang syariat.


Lebih jauh, ia menilai bahwa dosa dari sistem yang tidak sesuai syariat ini justru ditanggung oleh penyelenggara negara.


Masyarakat, dalam pandangannya, menjadi korban dari kebijakan yang disusun tanpa pemahaman agama yang mendalam.


Ia menyesalkan bahwa pengelolaan haji di Indonesia lebih banyak didasarkan pada pertimbangan administratif daripada kaidah syar’i.


Tak hanya soal talangan, ia juga menyoroti praktik haji furoda yang disebutnya sebagai “judi gaya baru”.


Program ini dianggap penuh spekulasi karena tidak menjamin kepastian keberangkatan, bergantung pada izin mendadak yang bisa saja ditolak.


Begitu pula dengan program “haji cepat berangkat” melalui berbagai jalur manipulasi visa, yang dinilainya sebagai praktik kucing-kucingan dengan aturan negara.


Menurutnya, hal tersebut tidak sejalan dengan adab dan nilai-nilai kesucian ibadah.


Kritik juga diarahkan pada haji khusus yang dianggap tak lepas dari praktik riba dalam sistem pembiayaan maupun cicilan.


Jika pelaksanaan haji hanya bisa dilakukan dengan jalan haram, maka kewajiban itu gugur, tegasnya.


Sebagai jalan keluar, Ustadz Erwandi menawarkan umrah di bulan Ramadan sebagai alternatif yang realistis dan halal.


Ia mengutip hadits Nabi yang menyatakan bahwa pahala umrah Ramadan setara dengan haji.


Hal ini, menurutnya, lebih mungkin dilakukan umat Islam Indonesia tanpa harus terjerat sistem ribawi atau antrean panjang.


Dalam pernyataannya, ia menegaskan bertanggung jawab penuh atas fatwa ini.


Namun ia juga menekankan bahwa fatwa bukan hukum mutlak, melainkan ruang ijtihad yang boleh diterima atau ditolak umat.


Ia menegaskan dirinya tidak memiliki kepentingan bisnis dengan biro haji maupun umrah, sehingga fatwa ini murni hasil kajian pribadi.


Kontroversi ini tentu memantik perdebatan di tengah masyarakat, karena menyentuh langsung soal kewajiban ibadah yang selama ini diyakini.


Meski demikian, fatwa ini membuka ruang diskusi baru dalam fikih kontemporer mengenai bagaimana hukum haji diterapkan di era modern.


Ustadz Erwandi menegaskan bahwa pintu fatwa semacam ini dibutuhkan agar umat tidak terjebak pada praktik ibadah yang justru menjerumuskan pada hal yang haram.


Ia menutup pandangannya dengan menyatakan bahwa menjaga agama dari praktik yang dilarang lebih utama dibanding memaksakan ibadah melalui jalan yang batil.


Fatwa ini memang tidak serta-merta mengubah kewajiban syariat, namun memberi perspektif berbeda dalam menyikapi keterbatasan kuota dan realita sistem haji di Indonesia.


Perdebatan yang muncul kemungkinan besar akan terus berkembang, namun yang jelas, pandangan Ustadz Erwandi menambah khazanah ijtihad di tengah tantangan ibadah umat Islam modern.***